Skip to main content

Cemburu pada Hujan

Hujan Dibalik Jendela
Sumber dari Pinteres oleh Ayesha Yousaf Zai 
Pagi ini tak seberkas pun cahaya mentari yang menembus celah kisi. Udara lembab, hujan rintik, dingin menyelinap menembus lapisan lemak dan daging menusuk tulang. Aku berdiri menghadap jendela kamar bersedekap, dia mendekapku dari belakang mengerti bahasa tubuhku yang kedinginan. Ku menoleh, ku dapati senyumnya, sungguh weekend pagi yang sempurna tak dapat ke mana-mana hanya berdua bersamanya.

“Selamat pagi, dingin ya? Makanya pakai sweater dong untung ada aku.”

“Hmm… Kamu.”, aku pasang wajah sebel tak lama berubah tersenyum manja.

Dalam dekapnya aku merasa aman, tak ada yang berani menyerangku lihatlah perkara aku kedinginan saja dia pahami. Memang dia lelakiku, lelaki yang ku inginkan.

Ting-tung bunyi ponselku tanda pesan masuk. “Sial itu hanya lamunan”, aku menggumam sejenak dan tersenyum simpul. Rupanya Brama, yang dilamunkan mengirim pesan.

Bagaimana tidak, Brama pujaan hatiku berada di Pulau Kalimantan. Laki-laki yang sejak kecil selalu bersamaku lebih lama dari kerbersamaanku bersama bapak. Dia sosok yang ku idam-idamkan untuk menjadi ayah dari anak-anakku kelak. Bagiku dia sangat berbeda dengan bapak yang pemabuk dan selalu menyakiti ibu.

Waktu itu semua serba sulit, kelaurganya mengalami musibah yang bertubi-tubi. Ayahnya dipecat, usaha ayam kremesnya tidak bisa lanjut lagi karena tidak ada uang untuk membeli bahan baku. Adiknya ada dua: SMP kelas 1 dan SD kelas 5. Pun dia masih dua SMA. Mereka berpikir keras untuk bangkit, hingga soulsi transmigrasi menjadi satu-satunya opsi. Sudah satu tahun mereka berada di sana. Satu tahun juga aku dan Brama tak bersua, hanya komunikasi lewat ponsel saja.

“Selamat pagi, sudah bangun Ra?”, sudah hafal kebiasaanku, yang selalu bangun kesiangan.
Tapi dia salah kali ini,”Sudah wangi tau, meski mager tidak beranjak dari kamar. Hihi..” Aku menambahkan,” Bagamiana persiapanmu untuk besok?”.

“Tak perlu begitu difikirikan, cukup siapkan secangkir kopi besok pasti lancar.”, Brama memang selalu selow menghadapi sesuatu. Bahkan saat akan pindah ke Kalimantan. Bayangkan saja katanya, kapan lagi ke luar pulau gratis bahkan diberi tempat tinggal. Dengan mudah dia jadikan tangis menjadi tawa.

“Syukurlah aku juga sudah siap menghadapi UNAS besok. Benar tak perlulah ngoyo, ini waktunya bersantai memanjakan otak sejenak untuk fokus kepada rindu yang menderu padamu.” Aku mengakhiri pesan singkat dengan canda,” Selamat pagi menjelang siang, selamat beraktifitas Brom. Haha”

Aku kembali berada di dekat jendela, kali ini aku tidak berdiri ku ambil kursi belajar kesayanganku yang bergaya rustic karena memang usianya lebih tua dariku, sudah ada di dalam rumah sebelum aku ada di bumi ini.

Ku memandang ke langit sejangkauan mataku. Rintik hujan mulai menghiasi menyingsing kabut. Anganku melayang melupakan ketegangan akan menghadapi ujian.

Dingin menusuk tulangku
Dimana kamu selimutku?
Di lemari kayu?
Di atas kasurku?
Di toko baju?
Atau di tumpukan cucian kotorku?
Sungguh tiada berdaya aku mencari selimutku

Hujan, sudahkah kamu sampaikan rinduku?
Sungguh kau buatku cemburu
Dapat menemuinya dengan alasan kurir rindu
Juga kapan pun terserah Tuhanmu
AKU CEMBURU!

Redalah segera, selimutku belum ketemu
Redalah segera, esok hari kita bisa ketemu
Redalah aku tak mau mati membeku, karenamu

***

Comments