Skip to main content

Makan Soto Bonus Teh Tawar di Bogor

Tahun lalu pertama kalinya ke Bogor, 2018. Berdalih menghadiri wisuda sepupu di IPB ku putuskan mengunjungi Kota Hujan.

Kesan pertama selain mabuk perjalanan ku rasakan hal yang jauh berbeda dalam waktu. Sesampai di stasiun Pasar Senen pindah kereta KRL. Ku amati orang-orang melangkah dengan cepat. Seolah terburu-buru, entah soal keberangkatan kereta atau begitu rutinitasnya. 

Aku yang sangat selow sungguh selow merasakan perbedaanya. Tak dapat aku membayangkan hidup diantaranya, tak sanggup tampaknya, sangat tidak menikmati hidup.

Soto Babat
menggoda di mata dan ludah tertelan tanpa sengaja
Di Bogor, di samping peningapan tepat di pertigaan yang sudah kulupa nama jalannya (yang jelas sekitaran IPB) ada penjual soto. Meski bulikku memasak nasi tapi aku dan sepupuku yang lain memutuskan untuk membeli soto daging. Sudah jauh-jauh dari plosoknya Blitar apa nggak sayang kalau melewatkan sesuatu yang baru, yang seharusnya dicoba? Begitu kataku.

Ya yang namanya soto dimana-mana pasti ada. Tapi ini beda daerah, tentu beda rasa. Benar saja. Ada tiga pilihan soto daging, babat atau ayam. Berbekal dari pengalaman bahwa babat itu "anduk" -begitu biasanya orang di lingkunganku menyebutnya- yang sudah ku ketahui aku tidak bisa memakannya kumemilih soto daging.

Mas-mas pedagang dengan lihai meracik pesanan. Dari mengiris daging, memasukkan bumbu hingga berakhir menuangkan kuah dalam mangkuk. Aku suka bagian memasukkan bumbu penyedap, jarinya memegang sendok kecil dengan jari kelingking yang melentik dan dengan hentakan yang ber-ritme saat memasukkannya dalam mangkuk.

Soto Daging
Kuah doang? Dagingnya tenggelam cuy 
Saat sepiring nasi dan semangkuk soto daging yang dagingnya tak terlihat tenggelam oleh kuah disajikan, sebelum sempat kami memesan minuman sudah disodori segelas teh hangat.

Dalam hati berkata," Loh, belum pesan kok diberi, hmm yaudah deh."

Seperti biasa kecap, sambal ambil sendiri. Lapar terobati, tidur tak akan dihanti nasi.

Rasa kuahnya lebih ringan dilidah dang krongkongan. Berbeda dengan soto di hajatan atau buatan emak yang kental dengan santannya. Sedikit lebih asin, mungkin karena aku kurang nambahin kecapnya. Tapi soto ini sangat bisa dinikmati, apalagi nasinya anget dan pulen.

Seporsi Soto Daging dan Nasi
tehnya kelihatan seditik yak
Merasa pedas akhirnya teh hangat penuh tanda tanya kusentuh. Kusruput, rasa manis dalam harapan tak kutemui. Kusruput untuk kali kedua, tawar. Bukannya mendapat jawaban tanda tanya bertambah, ini kok teh tawar? Apa masnya lupa menambahkan gula? Masih dalam batin, tak enak untuk membahas dengan sepupu karena bermodel angkringan, jarak penjual dan pembeli sangat tidak mendukung untuk saling ngrasani. 

Selesai. Kenyang. Bayar jadi satu. Dua mangkuk soto daging, dua piring nasi, Rp26.000. Terjawab sudah semua pertanyaan, tanpa dipesan, tanpa gula. Gratiss! Gratis dooong. Baru kali ini kudapati makan gratis minum teh tawar. Biasanya yang gratis kalau di warung-warung ya air putih.

Sampai penginapan ku bercerita, kata sepupuku yang wisuda memang begitu tradisinya di sana.

Comments