Skip to main content

Misteri di Gunung Butak: Siapa yang Minta Tolong dan Salah Jalan?

Misteri di Gunung Butak

Perjalanan turun dari pendakian Gunung Butak via Sirah Kencong kelompok kami yang berjumlah 14 orang secara tidak sengaja terbagi menjadi 3. Usai merapikan tenda dan mengepak kami semua berdoa bersama bersiap turun dengan kondisi tidak memiliki persediaan air minum. 

Sebelum berangkat siapa saja yang duluan akan menunggu di Ukir Negoro mencari air sekaligus mempersiapkan makan ~katanya tidak jauh dari Berak Papat ada sumber air saya belum tau. Kami, saya dan tiga teman yang lain berangkat paling akhir sebab kondisi yang masih lelah. 

Kami berempat mulai turun dengan semangat akan menemui kelompok siapa saja yang masih membawa air, entah sama mau turun atau sebaliknya. Saya berharap mereka masih naik. Benar saja,  di Pos 4 ada kelompok yang naik. Saya menyeledik memastikan persedian air mereka banyak. 

"Mas boleh minta airnya?," tanya saya berharap.
"Oh, yang bawa air itu mbak, yang pakai tas oranye", yang saya tanyai menunjuk salah satu temannya di bawah.
Dengan antuisias saya menanggapi,"Siap, yang itu ya mas. Terima kasih mas."

Saya ulangi pertanyaan pada mas-mas yang ditunjuk temannya tadi. Ketika saya hendak membuka botol minuman yang kosong Mas Mas Bertas Oranye memberikan sebotol-botolnya," Bawa aja mbak", jelasnya.

Perjalanan pun kembali kami lanjutkan tanpa ada kekhawatiran. Ada air minum, aman. Tidak lambat seperti perjalanan naik, santai saja. Sesekali berhenti beberapa menit untuk meredam lutut dan pergelangan kaki yang ngilu. Jemari kaki yang perih pada ujung dan tepi. Sebagai penyemangat, kalau sudah sampai bawah bakalan ngeteh di Warung Bu Tia, titik.

Beberapa kali kami saling salip dengan kelompok pendaki lain. Hingga sampailah kami di Pos 1. Tidak terpikirkan oleh saya akan melakukan perjalanan malam. Hari sudah sore, tonggeret paduan suara terdengar ngaring di telinga. 

Di Pos 1 ada yang membangun tenda tetapi entah mengapa kami dan mereka tidak saling sapa tidak seperti biasanya. Tidak lama-lama kami di sana, malam akan segera tiba.  Jarak antara Pos 1 dengan Ukir Negoro memang paling jauh. Saya was-was kalau-kalau kami tersesat tatkala malam.

Menjelang maghrib kami mendengar suara salah satu teman kami yang berangkat lebih dahulu. Saya teriaki namanya tetapi tidak ada jawaban. Mungkin bukan dia dan tidak berpikiran aneh-aneh. Karena saya berjalan paling depan jadi makin was-was kala menemui persimpangan dan tidak ada tanda jalurnya. Ketika sudah memilih jalan, mata saya mencari plastik atau rafia yang diikatkan pada ranting atau reumputan di kanan atau kiri jalan. Hal itu terulang beberapa kali.

Semakin gelap, susana berubah awalnya kami ceria melakukan perjalanan dengan mengobrol ringan menjadi hening, hanya sesekali memanggil satu sama lain memastikan baik-baik saja. Yang ada dalam benak hanya perasaan capek mengapa tak kunjung sampai di Ukir Negoro. 

Sempat punya pemikiran kalau kami sedang berputar-putar di situ-situ saja. Apalagi waktu melihat pohon besar di depan dalam hati berkata, "Perasaan tadi sudah terlewati." Tapi akal masih bisa menganulir mungkin memang ada pohon lagi yang berbeda.

Berkali-kali salah satu dari kami bertanya, "Masih jauh ya?" Sebanyak tanyanya saya menjawab dengan, singkat,"Sebentar lagi" Padahal saya pun tidak tahu seberapa jauh lagi. Hingga tibalah di papringan. Saya berhenti, melempar pertanyaan pada yang lain," Ini benar ya? Kok jadi papringan?" Dua dari kami ternyata malah membuatnya sebagai patokan bahwa papringan pertanda Ukir Negoro tidak jauh lagi.

Sampai di Ukir Negoro, mata memandang ada motor dalam hati memuji teman-teman baik sekali sampai menjemput. Ada sekelompok sedang duduk melingkar menikmati api unggun saya pikir itu kelompok kami, ternyata bukan. Kami tidak menemukan mereka, kecewa menerpa kami berempat.

Tidak berhenti, kami tetap berjalan hingga Berak Papat. Salah satu dari kami yang sedari tadi risau soal melobi teman kerja untuk membuat alasan pada bos kalau sampai kelewat jam kerja belum pulang atau tidak ada kabar. Di sana dia mendapatkan sinyal.

Cukup lama kami rehat, tiba-tiba ada yang berteriak meminta tolong di area kebun teh bawah. Suara wanita. Berkali-kali teriakan itu terdengar. Karena kami lelah, kami diam, acuh tak acuh.

Saya yang semula berjalan di depan entah mengapa kini berada di belakang, seolah tiga teman saya tak menghiraukan hingga tertinggal beberapa meter lalu akhirnya saya berseru,"Tunggu lur!"

Kami tidak menemukan jalan masuk ke dalam teh-teh, jalur cepat menuju parkiran wisata Perkebunan Sirah Kencong. Suara minta tolong itu muncul lagi. Kami mulai membahasnya tetapi tidak sampai mencari ke arah sumber suara.

Tiba-tiba dari belakang ada dua orang yang berlari, lalu bertanya pada kami apakah mendengar suara orang minta tolong. Ternyata tidak hanya kami yang mendengarnya. Dua orang tersebut tampak tetap mencari arah sumber suara. Kami tetap melakukan perjalanan masih kebingungan dimana jalan masuk ke jalur cepat itu. Sampai di persimpangan jalan. Kami bingung, menyadari bahwa jalur itu terlewatkan.

Melihat ke belakang ada satu grup berjumlah belasan, kami memutuskan kembali kalau-kalau mereka masih punya persediaan air minum sekaligus bisa jadi barengan lewat jalur dalam kebun teh yang lebih cepat. Sayang sekali, persediaan air mereka habis menyisakan rentengan botol kosong dibawa oleh salah satu dari mereka.

Ternyata mereka adalah teman sekelompok dari dua orang yang berlarian mencari sumber suara meminta tolong. Sampai saat kami memutuskan bareng mereka, dua orang tadi masih sibuk mencari. Kemudian salah satu dari mereka ada yang tegas," Sudah! Abaikan saja suara-suara yang tidak jelas arahnya. Sekarang kita fokus turun dengan selamat." Semua menyepakatinya. Hati saya juga lega, ada barengan tidak hanya berempat.

Tidak ada yang lain, harapan kami dua itu, tidak sepi dan cepat sampai. Tetapi apa daya, berharap memang dekat dengan kecewa. Bersama mereka pun jalan kecil di area dalam teh tidak ketemu mau kembali air minum tidak kami miliki jalanan juga nanjak jadi kami memutuskan menyusuri jalan truk.

Masalah kembali muncul ketika menemui perempatan. Kami bingung antara belok kiri atau lurus. Kami berempat sudah pasrah ngikut mereka saja. Setelah berdiskusi akhirnya mereka mengambil jalan yang sudah pasti mereka ketahui meskipun akan menempuh jarak yang lebih jauh, Tempursari.

Memilih jalan yang akan tembus Tempursari adalah pilihan yang membuat hati terasa dongkol, tetapi apa boleh buat. Dalam satu kelompok ada satu pemimpin, apalagi kami berempat yang bareng tak sepatutnya memperkeruh situasi.

Kami terus berjalan, tiba-tiba ada teriakan suara laki-laki dari arah bawah, "Kembalilah! Aku juga tersesat. Kemarilah hampiri aku!" 

Sungguh kalimat yang aneh. Setelah memperingatkan jalan kami salah dan menyuruh kembali diikuti kalimat perintah untuk menghampiri. Tetapi belajar dari suara pinta tolong sebelumnya kami semua kompakan tetap berjalan ke arah Tempursari.

Semakin terseok-seok kaki ini, tangan tak lagi mampu mengayun kuputuskan masuk ke saku celana trening yang kiri sudah bolong. Berjalan nomor dua dari belakang, kepalaku menunduk mengikuti langkah kaki yang lain di depan. Hingga di depan ada mobil bak sedang terjerembab membutuhkan pertolongan.

Beberapa sibuk menolong aku sibuk berangan berharap mereka memberi tumpangan tetapi sayangnya, lagi-lagi harapan kandas karena tujuannya berbeda. Mobil bak menjemput orang di Ukir Negoro, katanya ada yang sudah tidak kuat melakukan perjalanan. Tidak sekecewa itu, kami mendapat arahan jalan yang lebih dekat daripada lewat Tempursari.

Aku terharu dari mereka meminta air pada bapak-bapak yang ada di mobil bak, kupikir untuk kelompok mereka tetapi diberikan pada kami berempat. Kami tiba di jalan aspal, keluar dari kebun teh, sekitar 100 meter dari gerbang selamat datang di Sirah Kencong sekitar pukul 22.00 WIB.

Sungguh pengalaman pertama kali mengalami kejanggalan dalam pendakian gunung. Mungkin saja ini disebabkan oleh kami yang tak acuh pada maghrib. Harusnya kami berhenti. Wallahualam.

Comments